[ JP Minggu, 22 Maret 2009 ]
Rencana Depdiknas menggelar olimpiade sastra untuk tingkat SD pada 2009 merupakan terobosan di dunia pendidikan. Selama ini, olimpiade identik dengan dua bidang studi, yakni matematika dan sains. Penyelenggaraan dua olimpiade tersebut bahkan sudah menjadi agenda tahunan. Karena itu, rencana tersebut dapat dikatakan langkah maju.
Sudah jamak dalam pandangan orang awam, bahkan mereka yang berkecimpung di dunia pendidikan, bahwa kepintaran seseorang dilihat dari perolehan nilai matematika atau sains. Anak yang mendapatkan nilai tinggi pada mata ajar tersebut mendapat label pandai atau cerdas. Sedangkan, mereka yang memiliki kelebihan di bidang humaniora (sosial), bahasa, dan sastra tetap dianggap memiliki "kekurangan."
Sering, anak atau guru yang mumpuni di dua bidang itu (matematika/sains) dielu-elukan saat mereka memenangi kejuaraan. Sekolah juga rela mengeluarkan biaya besar untuk mencetak jawara-jawara dua mata pelajaran tersebut. Sebaliknya, siswa yang menang lomba puisi diperlakukan beda, dianggap "penggembira", bahkan tak jarang dipandang sebelah mata.
Ada beberapa hal yang melatari terpinggirkannya pengajaran sastra. Pertama, persentase pengajaran sastra pada kurikulum kita kecil sekali dibandingkan mata pelajaran lain. Pengajaran sastra di SD boleh dibilang hanya sebagai pelengkap. Di kelas 4, misalnya, pengajaran sastra hanya ada di semester 2, itu pun dengan porsi kecil. Jumlah jam pengajaran bahasa dan sastra juga lebih sedikit dibandingkan mata pelajaran lain.
Kedua, kebanyakan pengajar hanya mengajarkan sastra sebatas teori dan hafalan, tidak menekankan pada apresiasi. Boleh jadi, itu disebabkan guru kurang memiliki kemampuan dan apresiasi di bidang sastra. Karena pengajarannya kurang menarik, siswa jadi tak tertarik.
Ketiga, kurangnya bahan bacaan sastra. Bagi sekolah yang memiliki perpustakaan memadai, ketersediaan buku bacaan sangat mencukupi. Sehingga, siswa dapat membaca beragam buku sastra. Namun, sebagian besar sekolah belum memiliki perpustakaan yang baik. Itu diperparah rendahnya minat baca.
Keempat, ada pandangan bahwa mempelajari satra hanya buang-buang waktu, tidak ada gunanya. Jurusan IPA juga dipandang jauh lebih baik daripada jurusan IPS dan bahasa. Karena itu, pengembangan di bidang sastra dianggap tidak perlu. Lebih ironis lagi, pembinaan guru matematika dan IPA lebih diutamakan daripada guru bahasa dan sastra.
Melihat marginalisasi sastra tersebut, rasanya perlu kita renungkan beberapa hal berikut. Pertama, sesungguhnya pengajaran sastra memiliki peran besar dalam penanaman nilai kehidupan dan kemanusian pada siswa. Simak saja anekdot berikut. Mengapa orang Jepang bisa menjadi negara maju, sementara kita tidak? Yang membedakan adalah saat kita kecil dulu, yang sering diperdengarkan kepada anak adalah cerita Kancil Mencuri Ketimun. Yang didengar anak Jepang, di sisi lain, adalah cerita Katak Hendak Menjadi Raja. Karena itu, bangsa kita punya sederet koruptor.
Bisa jadi, itu bukan sekadar anekdot. Pengajaran sastra yang memotivasi memang merupakan investasi masa depan bagi moral bangsa, demikian pula sebaliknya. Orang bijak berkata, jika seseorang gemar membaca karya sastra, dia akan jadi orang yang dapat menghargai orang lain. Karena itu, dunia akan menjadi damai, tak ada pertengkaran, tak ada perang.
Kedua, penghargaan terhadap karya sastra merupakan pengakuan bahwa sastra setara dengan ilmu lain. Di negara maju, penghargaan terhadap karya sastra dan sastrawan jauh lebih baik. Bahkan, saat pelantikan salah satu presiden Amerika Serikat, pernah ditampilkan pembacaan puisi. Karena itu, buku sastra berkembang pesat. J.K. Rowling, penulis Harry Potter, juga menjadi salah satu orang terkaya di Inggris.
Di Indonesia, pengakuan terhadap karya sastra mulai menunjukkan peningkatan. Salah satunya adalah fenomena Laskar Pelangi. Penulis novel itu menerima royalti tak kurang dari Rp 4,5 miliar (Edi S. Mulyanta, 24/11).
Karena itu, langkah pemerintah mengadakan olimpiade sastra tingkat SD sebagai penghargaan terhadap siswa yang mendalami satra perlu didukung. Sebagai bagian dari elemen pendidikan, kita perlu mengupayakan agar wajah pendidikan tak lagi berpihak pada mata ajar tertentu. Sehingga, kita bisa menerima talenta siswa sebagai kelebihan yang sama. (soe)
Posting Komentar