Mohammad Efendi *)
Menepiskan anggapan bahwa pendidikan tidak perlu modal besar, untuk era kini, mungkin hanya akan melahirkan cap gombal. Karena kenyataan telah membelalakkan mata kita, bahwa uang sering kali menjadi penentu kualitas pendidikan.
Ini telah terbukti, baik dalam ruang sempit maupun luas. Dalam lingkup pribadi, satuan pendidikan, maupun nasional. Hingga sebuah kegetiran sering menjadi peneman duka kaum papa, karena tiket memperoleh kelayakan ilmu tak mereka dapati. Tak salah kiranya jika sitir keputusasaan melagu dalam dada mereka: orang miskin dilarang sekolah. Hal inilah yang memurukkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) negeri ini ke peringkat 155, dari 150 negara.
Seorang teman wadul kepada saya; Mengapa sekolah baik itu mahal? Gelagapan saya mendapati kenyataan, bahwa ternyata ia telah menemukan satu garis ruwet yang terangkai dengan tak indah dalam variabel pendidikan kita. Saya pun manggut-manggut.
Mahalnya mewujudkan pendidikan berkualitas pasti tak hanya memusingkan dia sendiri. Tapi juga pemerintah kita. Saking semangatnya mengerek kualitas pendidikan Indonesia, sampai-sampai mereka berani mengalokasikan dalam APBN, 20 persen untuk sektor pendidikan. Meskipun kenyataan ternyata berbicara lain. Jauh panggang dari api. Dari seperlima anggaran APBN, hanya sekitar 9,1 persen saja yang bisa dipenuhi. Upaya mengangsur kuaitas pendidikan juga dilakukan pemerintah lewat BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Tujuan bantuan ini adalah untuk mengurangi beban wali murid dalam membayar uang sekolah anaknya. Namun, ironisnya, yang muncul di media massa, masih ada juga sekolah yang menarik biaya ini-itu dari siswa. Atau mengakali meninggikan pungutan sekolahnya, hingga wali murid tetap harus membayar kekuranyannya. Senapas dengan BOS, baru-baru ini sekolah menerima aliran dana BOS buku. Sesuai namanya, BOS buku ini dialokasikan untuk pembelian buku paket siswa. Buku paket yang tercover tunjangan ini ada tiga: Bahasa Indonesia, Matematika, dan IPA. Masing-masing buku paket mendapat tunjangan 20 ribu rupiah. Namun sayang, pencairan dana ini tak sesuai waktu. Pencairannya dilakukan pada pertengahan semester. Hingga dapat dipastikan, tetap saja wali murid merogoh kantongnya untuk membeli buku paket. Karena pembeliannya dilakukan di awal semester.
Sisi lain yang membuat seretnya guliran roda pendidikan di negeri ini memang masih mahalnya buku. Namun, bukan tak ada contoh negara yang berhasil menekan harga buku sedemikian rupa, hingga bisa dijangkau khalayak umum. Bukan hanya buku-buku pelajaran yang ringan di katong, tapi juga koran dan majalah. Negara tersebut adalah India. Sebuah negara yang kian mengukuhkan cengkeramannya di Asia, selain Tiongkok. Resep yang dijalankan India tidak rumit; subsidi kertas. Guna menekan harga buku-buku asing, pemerintah tak segan-segan bekerja sama dengan penerbit-penerbit besar, seperti Penguin Book. Tujuannya, agar buku yang mereka terbitkan, dapat dicetak di India saja. Hingga akhirnya, banderol harga yang sampai di konsumen bisa murah. Ini bisa ditiru pemerintah. Alokasi subsidi BBM bisa sebagian dialihkan ke sektor ini. Melongok ke belakang, sebenarnya keinginan memurahkan harga buku sebenarnya telah disampaikan oleh Bung Karno. Dalam sebuah rapat akbar, beliau pernah memerintahkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan masa itu, Priyono, untuk menerbitkan buku murah untuk rakyat.
Sebagai penutup tulisan ini, disadari, bahwa sesungguhnya beratnya beban pendidikan Indonesia tak selayaknya hanya diserahkan pada pemerintah. Memosisikan pemerintah sebagai single fighter hanya akan melahirkan harapan semu belaka. Oleh karenanya, butuh pemberdayaan elemen-elemen masyarakat. Kita mensyukuri adanya wadah-wadah katalis kualitas pendidikan yang kini muncul di Surabaya dan sekitarnya. Semacam KPI (Konsorsium Pendidikan Islam), dan lainnya. Tapi, untuk lahan garapan seluas Indonesia raya, butuh puluhan, mungkin ratusan wadah seperti itu. Pertanyaannya, maukah kita mengambil bagian untuk itu?
efendialhikmah@yahoo.co.id
*) Guru SD Al Hikmah Full-Day School Surabaya
+ komentar + 1 komentar
salam kenal
saya punya TK berbasis islam usia uda 4 th, ingin lebih maju lagi gimana caranya jmlah siswa TK A 35 anak TK B 35 anak, inginnya buka SD atau SMP, memngingat SD sangat banyak di daerah kami, mhn saran n petunjuknya
Posting Komentar