Oleh Mohammad Efendi *)
Tepat sasaran bila pendidikan karakter menjadi ujung tombak perbaikan moral bangsa. Selayang ingatan suasana UN (Ujian Nasional) kemarin, Kemendiknas (Kementerian Pendidikan nasional) menilai bahwa pelaksanaannya berjalan baik. Lebih baik dari tahun lalu. Namun, noda buram pelanggaran kejujuran UN juga masih terjadi. Jumlahnya 900-an kasus di seluruh Indonesia. Ehm, ini dia PR pendidikan berbasis karakter.
Tanpa mengurangi penghargaan pada upaya pemerintah untuk menciptakan UN yang bersih, kecurangan ini menjadi noda memalukan. Sebuah aib yang mestinya tak perlu terulang dan terulang lagi tiap tahunnya.
Apalagi terjadi dalam ranah pendidikan. Karena mestinya, ranah inilah yang menjadi kawah candradimuka di mana kebenaran dan kejujuran dijunjung tinggi. Karena di sanalah diharapkan akan menetas generasi-generasi yang mumpuni secara intelektual dan moral yang mampu menjadi agen perubahan bangsa. Bolehlah Kemeterian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) menyimpulkan bahwa UN tahun ini lebih baik daripada tahun sebelumnya, dari segi persiapan, pelaksanaan, dan pengawasan. Namun temuan 900-an kasus kecurangan menjadi catatan buram yang mengiringi.
Apalah artinya raihan nilai yang tinggi, bila didapat dengan cara-cara curang. Hal tersebut bukan hanya melumuri wajah pendidikan Indonesia, namun bertentangan dengan nilai-nilai moral yang diajarkan pendidik sendiri di sekolah.
Lebih memprihatinkan lagi bila kecuragan itu melibatkan sang guru. Ibarat membangun bangunan moral, guru dan semua elemen telah bersusah payah membangun moral yang kokoh di dada muridnya. Namun apa lacur, bangunan itu justru dihancurkan sendiri oleh sang guru di penghujung masa pendidikan siswa. Hingga yang tersisa di dada siswa adalah puing-puing moralitas yang tercerai berai. Meninggalkan kebingungan di benak siswa akan kontadiksi antara pesan moral yang diterimanya dengan praktik guru yang lancung saat UN berlangsung. Meskipun alasan klasik yang pasti terucap adalah untuk membantu siswa.
Melihat fenomena pengulangan ketidakjujuran UN ini, diperlukan sanksi tegas yang menimbulkan efek jera bagi pelakunya. Efek jera tersebut perlu ditimbulkan agar cukup sampai tahun ini saja kecurangan UN berlangsung. Tahun depan, diharapkan nol kecurangan. Bila pelakunya kalangan siswa, tahun depan tak ada siswa yang berani melakukannya lagi. Bila pelakunya guru, tahun depan tak ada lagi guru yang berani mengulanginya lagi. Demikian pula bila kecurangan itu dilakukan pengawas, tahun depan mereka tak mengulangi kesalahan itu lagi.
Sebenarnya, POS UN 2010 revisi, telah memuat jenis-jenis kecurangan UN. Baik yang dilakukan oleh siswa, guru, pengawas ruang, sekolah penyelenggara, maupun percetakan. Bahkan lengkap dengan sanksi yang akan dijatuhkan bila kecurangan tersebut dilakukan. Antara lain, bila siswa bekerja sama dengan teman lain, setelah diberi peringatan sampai tiga kali akan dinyatakan tidak lulus mata pelajaran yang bersangkutan. Demikian pula bila mereka menggunakan HP dan menyebarkan kunci jawaban, sanksi serupa telah menanti.
Bagi guru, mengedarkan jawaban secara langsung atau SMS, guru mata pelajaran yang diujikan berada di sekolah, diancam sanksi. Demikian pula bila guru mengerjakan soal cadangan di sekolah dan menawarkan soal/jawaban. Pelaku akan dijerat dengan PP nomor 30 tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin PNS.
Sedangkan bagi pengawas, secara umum sanksi yang menanti bila mereka lalai adalah diberi peringatan dan dibuat berita acara. Bentuk kelalaian itu yang dimaksud: tidak mengelem amplop lembar jawaban, membaca sisa soal, bercakap-cakap, membiarkan peserta kerja sama, memberikan jawaban kepada peserta, dan mengerjakan sesuatu di luar tugas dan fungsi kepengawasan di ruang ujian.
Namun pertanyaannya, akankah sanksi tersebut benar-benar dilaksanakan untuk menghukum pelanggar kejujuran Ujian Nasional? Karena selama ini, tak pernah terekspos di publik terapan sanksi bagi guru atau sekolah yang terbukti melakukan kecurangan. Pada tahun-tahun lalu misalnya, tak pernah terdengar PNS ataupun guru yang dipecat akibat membocorkan jawaban. Karena itu, wajar bila publik khawatir aturan ini sekadar macan ompong. Bila itu terjadi, jangan heran bila tahun depan pelaksanaan UN tetap diwarnai dengan kecurangan.
Layak dipertimbangkan sanksi yang diberikan dipaparkan ke hadapan publik. Pola transparansi ini diperlukan agar kepercayaan masyarakat kepada Kemendiknas untuk menyelenggararan UN yang jujur tetap terpelihara.
Selain daripada itu, dapat dipertimbangkan sanksi yang lebih berat bagi guru yang membocorkan jawaban. Karena disadari, hal ini bukan hanya telah memberikan teladan kotor bagi anak didiknya sendiri, tapi dengan sengaja mencorengkan noda buram pendidikan di Indonesia. Bagi guru PNS, jika mengacu pada PP nomor 30 tahun 1980, kiranya tak cukup hukuman ringan dan sedang bagi mereka, tapi hukuman disiplin berat. Penurunan pangkat, pembebasan dari jabatan, dan pemberhentian dengan tidak hormat adalah sanksi yang layak untuk mereka. Ini setimpal dengan perilaku mereka yang kontradiktif dengan tugas mereka. Mereka ditugaskan untuk mendidik generasi bangsa, namun ternyata, mereka malah memberi contoh kepada siswa perilaku tidak jujur. Secara tidak langsung, mereka telah meracuni anak didiknya dengan “boleh melakukan segala cara agar keinginan kita tercapai.” Ini memprihatinkan. Jika ini tak lekas dihentikan, akan makin banyak anak-anak kita yang akan teracuni secara tanpa kita sadari.
Bila guru PNS bisa dijerat dengan PP nomor 30 tahun 1980, lalu bagaimana dengan guru swasta? Bila si pelanggar adalah guru swasta, tak cukup sanksi dipercayakan kepada kepala sekolah atau yayasan terkait. Karena biasanya, akan guru berani mencurangi UN karena menjadi “tim sukses” yang dibentuk oleh kepala sekolahnya. Oleh karena itu, sanksi hendaknya dijatuhkan langsung oleh Dinas Pendidikan di atasnya. Program sertifikasi guru dapat digunakan sebagai sanksi. Bila guru tersebut belum ikut sertifikasi, coret namanya dari daftar nominator sertifikasi. Bila sang guru telah lulus sertifikasi, cabut tunjangan TPP-nya.
Dengan sanksi berat dan tegas ini, diharapkan aib tahunan saat pelaksanaan Ujian Nasional dapat dikikis habis. Sebab orang akan berpikir seribu kali dampak yang akan diterimanya. Dengan demikian akan terwujud Ujian Nasional yang mampu mengukur kemampuan siswa secara bersih dan jujur.
*) efendialhikmah@yahoo.co.id, Pendidik di YLPI Al Hikmah Surabaya
Posting Komentar